25 Sep 2020

Didi Kempot & Metal


"Kowe tak sayang-sayang, saiki malah ilang tresnamu nang aku.."

Saya mendengar sepenggal lagu itu sambil mengambil tempe goreng di hadapan saya. Saat itu saya sedang menikmati 'makan malam' di angkringan dekat komplek perumahan yang saya tinggali. Dan seperti lagu dangdut, campursari atau koplo pada umumnya, saya tidak terlalu menggubris lagu itu karena memang saya tidak berminat. Lagu itu populer, harusnya, karena saya sering mendengarnya berulang kali melalui medsos Instagram dan Facebook. Lucunya, lagu yang awalnya merupakan lagu 'syahdu' itu malah berakhir menjadi lagu 'lucu' karena sering diremix dan dipakai menjadi background video konyol. Tapi yang pasti, saya tahu lagu itu milik sang legenda Didi Kempot karena saya memang familiar dengan suara khasnya.

"Wah emang jam yahmene (segini) paling uenak koploan mas." celetuk salah satu 'customer' kepada pemilik angkringan. Pemilik angkringan pun mengangguk sambil tersenyum simpul. Setelah lagu itu selesai, nampak pemilik angkringan mengganti lagu berikutnya melalui hp yang tersambung nirkabel ke speaker bluetooth berbentuk JBL tanpa logo JBL (KW maksudnya). Lagu berikutnya mulai mengalun, yang entah semakin asing di kuping saya. Pun, saat itu saya sudah tidak mencermati dan akan beranjak pergi. Bukan karena risih dengan lagunya, tapi karena makanan saya sudah habis. Sambil menyeruput es teh tawar yang tinggal seujung, saya iseng memperhatikan mas-mas disebelah saya yang mulai merem melek sambil mengangguk-angguk menikmati lagu yang dipersembahkan oleh pemilik angkringan. Sesuatu yang mungkin tidak bisa ditemui di kedai kopi etestik kekinian. Dalam hati saya geli bercampur bahagia, hehe.

Belakangan, saya baru tahu lagu yang sepenggal saya dengar kemarin itu berjudul Ninggal Tatu (searching via Google). Saya tidak begitu mengerti isinya, tapi intinya lagu itu bercerita tentang patah hati. Jujur, saya tidak tertarik untuk mencermati lebih dalam (dan mungkin tidak akan pernah tertarik). Namun saya kembali tertarik dengan sang penyanyi Didi Kempot, yang tidak terasa sudah hampir 5 bulan dia berpulang (semoga amal ibadahnya diterima disisi-Nya, amin).

Sebagai orang Jawa tulen (kelahiran Jawa, orang tua asli Jawa, besar di Jawa), tidak mungkin saya tidak mengenal Didi Kempot. Malah pada waktu kecil saya sempat akrab dengan lagu-lagu klasiknya macam Stasiun Balapan, Cucak Rowo, dan yang paling memorable Kuncung karena liriknya "Bis holobis kuntul baris.." tertanam kuat di ingatan saya. Namun sayang, semua itu berakhir ketika genre musik lain yang lebih 'modern' menyerang telinga. Kesukaan saya akan sosok legend itu sebenarnya tidaklah pudar, hanya saja saya berhenti mendengarkan lagu-lagunya.

Lama tak terdengar, Didi Kempot kembali menjadi viral sekitar tahun lalu, tatkala dia diudang oleh salah satu influencer sekaligus youtuber tanah air, Gofar Hilman untuk mengisi suatu acara anak muda. Saya tahu karena pada saat itu acaranya ditayangkan di salah satu stasiun televisi swasta, yang entah kebetulan saat itu saya sedang penat dan tak terasa ikut memperhatikan acara tersebut. Yang saya ingat hasil dari acara tersebut, lagunya mulai diminati lagi oleh banyak anak muda yang bahkan mungkin jauh diusia saya. Malahan, Mas Didi Kempot sendiri juga berterus terang kalau dia senang karena masih diundang di acara anak muda, sekaligus kaget lantaran masih banyak anak muda yang mendengarkan lagu-lagunya. Singkat cerita, dia bahkan di dapuk menjadi The Godfather of Broken Heart alias Bapak Patah Hati, melahirkan generasi baru Sobat Ambyar (sebutan untuk fans Didi Kempot).

Lalu kembali ke judul yang saya tulis, apa hubungannya Didi Kempot dan Metal. Ya sebenarnya tidak ada. Metal dan campursari adalah dua semesta yang berbeda. Saya sejauh ini belum pernah melihat metalhead yang mempunyai koleksi lagu didi kempot, campursari dan sejawatnya. Vice versa, saya sendiri belum pernah melihat playlist Sobat Ambyar yang berisikan lagu-lagu metal macam Lamb of God. Mungkin saja ada orang yang begitu tapi saya yakin sangat jarang (dan mungkin saja saya salah, ini hanya yang sejauh saya perhatikan). Di playlist saya sendiri pun 80 persen isinya lagu metal, dan sisanya tidak ada satupun lagu campursari. Kedua genre ini jarang berdampingan satu sama lain, karena kultur dan latar belakangnya memang sangat berbeda. Pecinta campursari mungkin beranggapan lagu metal isinya cuman orang teriak-teriak dan gak jelas, sedangkan metalhead sendiri sering beranggapan musik campursari itu cengeng dan kampungan. Tapi dibalik segala macam perbedaan itu, tetap saya ada persamaan yang menarik.

Sebagai manusia yang lahir di bumi, tentu hampir kebanyakan orang pernah mengalami patah hati. Baik itu cinta bertepuk sebelah tangan, diselingkuhi, ditinggal kekasih, dan macam-macam sebab dan akibat lain. Nah, salah satu upaya untuk mengungkapkan perasaaan berkecamuk tersebut adalah melalui sebuah lagu atau musik.

Ketika musik metal 'menasehati' saya dan metalhead lain untuk menghadapi perasaan itu dengan terus tegar lewat lirik lagu tegas, lugas dan irama yang menggempur, musiknya Mas Didi mengajari fans untuk nerimo dan bersuka cita menghadapi perasaan galau tersebut. Hidup ini adil, tapi seringkali terasa tak adil ketika sesuatu tidak berjalan sesuai ekspetasi dan harapan, termasuk cinta. Metal dan Didi Kempot menyampaikan pesan untuk terus berjuang dalam hidup meskipun perasaan sakit itu menghalangi. Hanya saja dengan jalur dan cara yang berbeda.

"Tapi Set, lagu metal kan gak cengeng kayak lagu campursari."

Ah, enggak juga. Coba aja perhatikan lirik lagu seperti Forever-nya As I Lay Dying, Tears Don't Fall milik Bullet for My Valentine, Heart Like A Grave milik Insomnium atau I Am Above milik In Flames. Lirik lagunya cengeng semua bro. Cuman karena dikemas dengan metal aja jadi terasa gahar. Padahalnya intinya menggalau juga, haha.

Semakin kesini saya sadar, bahwa jalan hidup setiap orang itu berbeda. Tidak bijak menghakimi orang begitu saja tanpa tahu latar belakang, apalagi hanya sekedar musik. Ada yang memilih cara metal, ada yang memilih cara campursari, dan ada juga yang memilih cara disko, semua memberi warna pada hidup sendiri. Saya tidak memahami campursari seperti halnya fans campursari memahami musik metal. Semua itu kembali ke selera dan pendekatan masing-masing. Dan daripada memaksa dan meracuni orang lain untuk mengikuti pemahaman kita, bukankah lebih baik untuk saling mengerti? Kalau semua dipukul rata, yo mblenger.