7 Okt 2020

Koar-koar UU Omnibus Law Cipta Kerja.


"Aku bersamamu hai orang-orang yang malang." - Soe Hok Gie

Awal bulan ini saya terguncang atas dua peristiwa. Yang pertama adalah meninggalnya Eddie Van Halen, gitaris jenius band Van Halen diumur 65 tahun karena kanker tenggorokan. Yang kedua, ada terkait pengesahan UU Omnibus Law Ciota Kerja oleh DPR baru-baru ini.

Semua orang yang mengikuti berita beberapa hari belakangan, pasti tahu akan adanya demo paska pengesahan UU Cipta Kerja kemarin yang puncaknya adalah hari ini tanggal 8 Oktober. Walaupun terjadi penolakan dimana-mana dari berbagai lapisan masyarakat, bahkan dari anggota DPR sendiri, toh pengesahan UU itu tetap santuy berjalan meskipun terkesan grasa-grusu. DPR yang biasanya pas lagi sidang Paripurna suka bolos (datang pun biasanya molor), tiba-tiba jadi bersemangat sekali di sidang kemarin. Tanpa memperdulikan dan membungkam semua kritik yang bahkan datang dari anggotanya sendiri, seakan menjadi pertanda bahwa demokrasi di Indonesia memang tidak ada artinya lagi. Sekedar label semata alias mati.

Hasil sidang yang tanpa kompromi dimana suara dan kritik yang datang tidak dipertimbangkan, wajar saja menimbulkan kekecewaan di masyarakat, khususnya kaum buruh. Jangankan dipertimbangkan, didengar saja tidak. Anggotanya mau bicara juga microphone dimatikan. Dari hasil UU itu juga hampir semua lapisan masyarakat sepakat bahwa isinya kayak tai. Respon yang timbul juga beragam. Ada yang sekedar marah di medsos, ada yang turun langsung di jalan, ada yang jual gedung DPR di lapak online dan marketplace, ada pula yang sangar ingin pindah negara karena sudah putus asa dengan keadaan Indonesia saat ini. Dan tinggal buzzer pemerintah yang kewalahan ngelak dan mencoba mengeluarkan opini kalau semua yang beredar mengenai hilangnya kesejahteraan buruh itu hanyalah hoax. Ada yang bilang hak-hak dan kesejahteraan itu nggak hilang, cuman berkurang (yang menurut saya sama aja bohong). Lalu yang kontra UU  tersebut dan menyuarakan di medsos, dibego-begoin disuruh baca UU yang terdiri dari 900 halaman lebih (Saya sudah baca dua puluh halaman pertama, dan jujur saya mumet). Mungkin dikira, masyrakat sesudah membaca itu akan tenang, nurut dan batal demo. Disisi lain dan yang paling konyol, Divisi Humas Polri sibuk menghimbau dan menghalau masyarakat agar tidak demo dikarenakan masih pandemi, seakan rakyat bisa ditakuti dengan isu pandemi yang dimana pemerintah sendiripun terkesan sudah acuh akan keadaan dan protokol kesehatan.

Saya sendiri sebenarnya tidak terkena dampak langsung dengan hadirnya UU tersebut seperti para buruh pada umumnya. Saat menulis ini pun, saya sedang duduk santai menikmati secangkir kopi sembari membaca dan melihat perkembangan peristiwa ini. Di daerah saya yang merupakan kota kecil, tidak ada kabar akan ada demo, dan saya terlalu malas dan tidak berkepentingan khusus untuk pergi ke kota sebelah hanya untuk demo. Buruh bukan, mahasiswa bukan, aktivis apalagi. Pun juga merasa, saya tidak ada kapasitas membahas hal ini. Hanya saya merasakan kegetiran dan trenyuh yang sama dengan masyarakat yang terdampak. Mungkin terkesan berlebihan, namun saja jika yang terdampak itu adalah teman, saudara atau bahkan keluarga terdekat sendiri, mau tidak mau akan timbul rasa empati jika masih mempunyai nurani. Apa salahnya mencoba memperjuangkan dan menyuarakan hak-hak agar didengar? Masyarakat yang tidak terdampak mungkin akan merasa fine dan adil-adil saja. Ngapain repot-repot ngurusin dan sok-sok perduli toh bukan kita yang kena. Lalu ikutan sok bijak dan nyinyirin yang demo agar lebih rajin membaca gak cuman sekedar ikutan ricuh. Seandainya mereka yang sibuk nyinyirin itu terkena dampak, apa mereka bisa berkata lagi bahwa itu adil? Terkadang perlawanan itu perlu, agar pemerintah sadar bahwa rakyat punya hak untuk didengar dan berbicara. 

Saya mungkin juga tidak berguna berkoar-koar melalui sebuah tulisan. Tapi tulisan ini adalah bentuk ungkapan terhadap apa yang terjadi di saat ini, karena ketidakmampuan saya melakukan dengan aksi nyata seperti turun ke jalan. Merasa kekesalan yang sama tapi nggak bisa ikut melawan. Yang terbaik yang saya bisa dilakukan (dan mungkin banyak orang yang tidak bisa turun ke jalan), hanyalah 'mendoakan' perlawanan dan protes tersebut. Berharap semua lancar membuahkan hasil. Pemerintah mau mendengar dan mencabut dan merevisi UU tersebut, dan Presiden tidak perlu mengeluarakan Perppu untuk meredam gejolak masyarakat untuk menyeimbangkan stabilitas negara. Tapi selama hal itu belum bisa terwujud, untuk para buruh, mahasiswa atau pihak yang turun langsung, terima kasih dan selamat berjuang. Yakinlah bahwa perjuangan kalian tidak akan sia-sia, mewakili hajat banyak orang, dimana ribuan doa dan harapan menyertai kalian semua. Jikapun penguasa menjadi buta, bisu dan tuli, yakinlah masih ada Tuhan diatas sana yang Maha Melihat dan Maha Mendengar.

Panjang umur perjuangan.